Dialog Para Imam Mazhab soal Hadits
Dialog Para Imam Mazhab soal Hadits

Mahbib, NU Online | Senin, 10 April 2017 12:22
Dalam kitab Tarikh al-Tasyri'
al-Islami karya Syekh Muhammad Khudhari Bek diceritakan dialog antara Imam Abu
Hanifah dan Imam al-Auza'i:
قال سفيان بن عيينة: اجتمع أبو حنيفة والأوزاعي في دار الحنّاطين بمكة، فقال الأوزاعي:
ما لكم لا ترفعون عند الركوع والرفع منه؟ فقال:
لأجل أنه لم يصح عن رسول الله - صلى الله عليه وسلم
- ، فقال:
الأوزاعي: كيف لم يصح وقد حدثني الزهري، عن سالم، عن أبيه، ابن عمر أن رسول الله
- صلى الله عليه وسلم - كان يرفع يديه إذا افتتح الصلاة، وعند الركوع، وعند الرفع منه.
فقال أبو حنيفة: حدثنا حماد، عن إبراهيم، عن علقمة والأسود، عن عبد الله بن مسعود: أن النبي - صلى الله عليه وسلم - كان لا يرفع يديه إلا عند الافتتاح ثم لا يعود.
فقال الأوزاعي:
أحدثك عن الزهري، عن سالم، عن أبيه، وتقول: حدثني حماد عن إبراهيم؟! فقال أبو حنيفة:
كان حماد أفقه من الزهري، وكان إبراهيم أفقه من سالم، وعلقمة ليس بدون ابن عمر أي في الفقه، وإن كان لابن عمر صحبة، وله فضل صحبته، وللأسود فضل كثير، وعبد الله عبد الله فسكت الآوزاعي
Sufyan bin Uyainah
menceritakan bahwa pada suatu kesempatan Imam Al-Auza’i dan imam Abu Hanifah bertemu di Mekkah. Terjadilah
dialog di antara ulama besar fiqih negeri Syam dan ulama besar fiqih negeri
Kufah tersebut.
Auza'i bertanya: "Kenapa
kalian tidak mengangkat tangan kalian ketika melakukan ruku’ dan bangun dari ruku’?”
Abu Hanifah menjawab, “Ya, karena tidak ada Hadits yang shahih dari
Rasulullah SAW atas masalah itu.”
“Bagaimana
tidak shahih, sedangkan (Ibnu Syihab) Az-Zuhri telah menceritakan kepadaku,
dari Salim (bin Abdullah bin Umar) dari bapaknya (Abdullah bin Umar) dari
Rasulullah SAW bahwa beliau mengangkat kedua tangannya saat memulai shalat,
saat ruku’,
dan saat bangun dari ruku’?” bantah Auza’i.
Abu Hanifah pun merespon,
"Telah menceritakan kepada kami Hammad (bin Abi Sulaiman) dari Ibrahim
(bin Yazid) dari Alqamah (bin Qais) dan Al-Aswad (bin Yazid) dari (Abdullah)
Ibnu Mas’ud
bahwa Rasulullah SAW tidak mengangkat kedua tangannya kecuali saat memulai
shalat dan tidak melakukannya lagi setelah itu.”
Auza’i mencoba membantah argumentasi Abu Hanifah. “Aku menceritakan kepada anda Hadits dari Az-Zuhri dari
Salim dari bapaknya. Sementara Anda menceritakan Hadits dari Hammad dari
Ibrahim?”
[Kalau sebelumnya kedua imam
besar ini sama-sama membacakan sanad Hadits, sampai di sini Auza'i mulai
mengajukan penilaian terhadap kualitas rawi]
Abu Hanifah menjawab:
"Hammad lebih faqih daripada Az-Zuhri, Ibrahim lebih faqih dari Salim, dan
Alqamah tidak lebih rendah dari Ibnu Umar. Kalaupun Ibnu Umar seorang sahabat
atau unggul karena menjadi sahabat Nabi, toh Al-Aswad memiliki keutamaan yang
besar. Sedangkan Abdullah (bin Mas’ud) sudah jelas, siapa Abdullah itu,” jawab Abu Hanifah.
Mendengar argumentasi Abu
Hanifah tersebut, Al-Auza’i
pun diam.
Ini artinya masing-masing
imam telah menjelaskan argumentasinya, dan mereka kemudian diam dan saling
menghormati perbedaan pendapat di antara mereka yang disebabkan perbedaan dalam
menerima dan menilai kekuatan sanad suatu Hadits.
Imam Syafi'i juga senang
berdialog. Bahkan beliau tuliskan dialog itu baik dalam kitab al-Umm dan
lebih-lebih lagi dalam kitab al-Risalah.
Pada masa beliau terdapat
pertentangan mengenai boleh tidaknya menerima Hadits Ahad, yaitu riwayat yang
diterima dan disampaikan dari satu orang perawi. Imam Malik di Madinah lebih
menerima amal ahli Madinah ketimbang Hadits Ahad dengan alasan penduduk Madinah
lebih paham Hadits dan jumlahnya lebih banyak
ketimbang riwayat satu orang. Imam Abu Hanifah dalam beberapa kasus malah mengeyampingkan Hadits Ahad jikalau bertentangan dengan qiyas yang beliau gunakan. Maka tampillah Imam Syafi'i membela status dan kedudukan Hadits Ahad. Upaya beliau inilah yang membuat para ulama menggelari Imam Syafi'i sebagai Nashirus Sunnah (Pembela Sunnah Nabi).
ketimbang riwayat satu orang. Imam Abu Hanifah dalam beberapa kasus malah mengeyampingkan Hadits Ahad jikalau bertentangan dengan qiyas yang beliau gunakan. Maka tampillah Imam Syafi'i membela status dan kedudukan Hadits Ahad. Upaya beliau inilah yang membuat para ulama menggelari Imam Syafi'i sebagai Nashirus Sunnah (Pembela Sunnah Nabi).
Imam Syafi'i dalam juz dua
kitab al-Risalah menuliskan bab khusus tentang Khabar Ahad. Bab ini dimulai
dengan dialog sebagai berikut:
فقال لي قائل: احْدُدْ لي أقلَّ ما تقوم به الحجة على أهل العلم، حتى يَثْبَتَ عليهم خبرُ الخاصَّة.
فقلت: خبرُ الواحد عن الواحد حتى يُنْتَهَى به إلى
[ص: ٣٧٠]
النبي أو مَنْ انتهى به إليه دونه.
ولا تقوم الحجة بخبر الخاصة حتى يَجْمَعَ أُموراً:
- منها أن يكون مَنْ حدَّثَ به ثِقَةً في دينه، معروفاً بالصِّدق في حديثه، عاقِلاَ لِمَا يُحَدِّثُ به، عالمِاً بما يُحيل مَعَانِيَ الحديث مِنَ اللفظ، وأن يكون ممن يُؤَدِّي الحديث بحروفه كما سَمِعَ، لا يحدث به على المعنى، لأنه إذا حدَّث على المعنى وهو غيرُ [ص:
٣٧١] عالمٍ بما يُحِيلُ به معناه: لم يَدْرِ لَعَلَّهُ يُحِيل الحَلاَلَ إلى الحرام، وإذا أدَّاه بحروفه فلم يَبْقَ وجهٌ يُخاف فيه إحالتُهُ الحديثَ، حافظاً إن حدَّث به مِنْ حِفْظِه، حافظاً لكتابه إن حدَّث مِنْ كتابه. إذا شَرِكَ أهلَ الحفظ في حديث وافَقَ حديثَهم، بَرِيًّا مِنْ أنْ يكونَ مُدَلِّساً، يُحَدِّثُ عَن من لقي ما لم يسمعْ منه، ويحدِّثَ عن النبي ما يحدث الثقات خلافَه عن النبي.
ويكونُ هكذا مَنْ فوقَه ممَّن حدَّثه، حتى يُنْتَهَى بالحديث مَوْصُولاً إلى النبي أو إلى مَنْ انْتُهِيَ به إليه دونه، لأنَّ كلَّ [ص:
٣٧٢] واحد منهم مثْبِتٌ لمن حدَّثه، ومثبت على من حدَّث عنه، فلا يُسْتَغْنَى في كل واحد منهم عمَّا وصفْتُ.
Seseorang berkata kepadaku,
"definisikan untukku teks yg paling sedikit hujjahnya tapi ia memiliki
kekuatan mengikat bagi para ulama?"
Imam Syafi'i menjawab:
"Itu adalah Khabar (Hadits) Ahad dari satu orang perawi ke satu perawi
lainnya baik yang jalurnya sampai kembali ke Nabi atau terhenti pada selain
beliau."
"Kehujjahan Khabar Ahad
tidak terjadi melainkan memenuhi persyaratan seperti perawinya tsiqah dalam
agamanya, terkenal jujur dalam ucapannya, paham dengan apa yang dia riwayatkan,
mengerti dengan perbedaan redaksi atau lafaz. Dia jg bisa mengulangi teks
Hadits huruf demi huruf seperti yang dia dengar, karena kalau disampaikan
secara makna maka boleh jadi nanti dia tidak akan paham mana yang halal dan
haram."
"Dia harus punya hafalan
yang bagus baik menyampaikannya dari memori atau catatannya. Dan jika diambil
dari catatanya maka itu harus cocok dengan hafalan Hadits yang disampaikan
pihak lain. Dia tidak boleh mudallis yang meriwayatkan dari orang yang
dia temui tapi sebetulnya dia tidak mendengar Hadits darinya atau meriwayatkan
dari Nabi yang kontradiksi dengan apa yang disampaikan orang yang tsiqah.
Juga, semua perawi di atasnya bersambung sampai ke Rasul atau berhenti pada orang lain. Soalnya masing-masing perawi akan saling menetapkan satu sama lain. Tidak ada yang melewati persyaratan yang aku sampaikan ini [barulah Hadits Ahad itu diterima sebagai hujjah]."
Juga, semua perawi di atasnya bersambung sampai ke Rasul atau berhenti pada orang lain. Soalnya masing-masing perawi akan saling menetapkan satu sama lain. Tidak ada yang melewati persyaratan yang aku sampaikan ini [barulah Hadits Ahad itu diterima sebagai hujjah]."
Dari dua kutipan dialog di
atas, para Imam Mazhab sangat memahami Hadits Nabi. Jangan mengira mereka
mengeluarkan pendapat tanpa dalil Al-Qur'an dan Hadits sehingga anak zaman
sekarang berani-beraninya mengecam para Imam Mazhab dan lantas mengajak kembali
kepada Al-Qur'an dan Hadits seolah-olah para Imam Mazhab itu telah meninggalkan
Al-Qur'an dan Hadits.
Ibaratnya para Imam Mazhab
itu adalah para petani yang sudah bersusah payah menanam padi, dan para ulama
sesudahnya telah mengolahnya menjadi beras, dan kemudian para kiai kita sudah
menanak nasi.
Kemudian para ustadz mengolah nasi tersebut dan kita tinggal menikmati nasi yang terhidang sesuai pilihan kita baik nasi goreng, nasi uduk, sampai nasi kabuli. Eh, pas baru mau makan, ada yang teriak: "jangan tinggalkan beras, ayo kembalilah kepada beras!"
Kemudian para ustadz mengolah nasi tersebut dan kita tinggal menikmati nasi yang terhidang sesuai pilihan kita baik nasi goreng, nasi uduk, sampai nasi kabuli. Eh, pas baru mau makan, ada yang teriak: "jangan tinggalkan beras, ayo kembalilah kepada beras!"
Nadirsyah Hosen, Rais
Syuriyah PCI Nahdlatul Ulama Australia - New Zealand dan Dosen Senior Monash
Law School
Sumber : Nu Online
Sumber : Nu Online